Suatu malam, gelap gulita udarapun amat dinginnya. Khalifah ‘Umar bersama sahabat Aslam pergi kesebuah kampung/diluar kota, meronda rakyatnya. Nun jauh disana kelihatan berkedip-kedip nyala api. “Hai Aslam, lihatlah itu! kau lihat ada nyala api?”. Saya kira itu rombongan kalifah yang kemalaman dijalan, tentunya mereka itu kedinginan. Mari kita kesana”.
Keduanya berlari-lari kecil, menghampiri api itu. Tetapi apa mereka lihat? Seorang wanita yang sedang menanak, anaknya pada menangis.
‘Umar memberi salam : “Assalamu alaikum”! Wa alaikum salam” sahut wanita itu. “Bolehkah saya masuk?”
“Silahkan”.
“Sedang mengapa saudari?”
“Kami kedinginan, tuan”,
“Dan itu anak-anak kenapa mereka menangis?”
“Mereka lapar, tuan”.
“Tetapi itu apa? Bukankah kau sedang bertanak?”
“Tidak, itu hanya untuk menghibur mereka saja, supaya diam. Yah, tuan akan menyaksikan, beginilah keadaan kami dibawah pemerintahan “Umar”.
“Kasihan, apa ‘Umar tahu keadaan kalian disini?”
“Itu seharusnya. Sebab beliau sebagai Khalifah pemerintah kita. Tetapi beliau tidak ada menaruh perhatian kepada rakyatnya yang menderita ini”. Lalu ‘Umar menoleh kepada Aslam, seraya berkata :
“Mari kita pulang dulu”. Setelah sampai digudang, dikeluarkannya satu karung gandum dan beberapa potong dendeng.
“Angkatlah ini diatas pundakku, Aslam!”
“Biarlah saya saja yang memikul, ya Amirul Mu’minin”.
“Apa? Apakah kau mau memikul dosaku nanti dihari Qiamat?”
Gandum itu dipikulnya sendiri oleh khalifah ‘Umar. Sesampainya dikhemah, dihempaskan karung gandum itu. Lalu dibukanya, disenduknya beberapa cupak.
“Biarlah saya sendiri yang memasaknya” katanya kepada wanita itu. Lalu diaduk-aduknya periuk itu, sambil meniup-niup api. Dari sela-sela janggutnya yang tebal itu, kelihatan asap seperti rumput kebakaran. Setelah masak, diturunkannya periuk itu seraya minta mangkuk kosong.
“Nah ini, berilah anak-anakmu makan semua!”
Sesudah mereka kenyang semua, lalu berdiri dan semua ketawa gembira. “Alhamdulillah” kata ‘Umar.
“Terima kasih tuan. Sungguh tuan lebih baik daripada Khalifah kita”. Sahut wanita itu memuji-muji.
“Terima kasih kembali, dan saya harap katamu itu baik saja. Dan kalau kamu mau datang kepada Khalifah, saya ada disana insya Allah, nah selamat tinggal”.
________________________________________________
Sepenggal kisah diatas, terjadi pada masa pemerintahan UMAR BIN KHATTHAB. Dimana beliau rela berjalan jauh kepelosok pada waktu malam pula, hanya untuk sekedar melihat keadaan rakyatnya dari dekat, dan ketika melihat kenyataan yang menyedihkan, beliau rela membantu dengan tangan sendiri.
Kisah yang mungkin takkan pernah kita lihat dijaman sekarang ini, bahkan hal itu mungkin yang sangat kita rindukan.
Salam…
***
Jakarta, kamis malam
hay fit,,,,,,,,,,,,
cerita yg bagus, tauladan yg baik, dan sungguh mulia 🙂
hai jg adit,,,
teladan yg sukar dicari…
cerita yang bagus sekali,,
& ada makna di dalam’a..